Bolehkah Tanah Wakaf Dibuat Bertani? Ini Penjelasannya

Tahukah kamu, salah kelola wakaf bisa berujung dosa? Pelajari hukum mengelola tanah wakaf yang sering terjadi di desa-desa, agar tidak salah langkah.


Ilustrasi tanah wakaf. (Foto: NU Online).


Perspktif Islam --- Di banyak desa, kita sering melihat tanah yang diwakafkan oleh orang-orang terdahulu. Ada yang diwakafkan untuk masjid, madrasah, bahkan untuk keperluan umum seperti jalan atau makam. Tapi tak jarang, tanah-tanah itu terbengkalai, tak terurus. Lalu muncul pertanyaan: apakah boleh kalau tanah wakaf itu digarap, misalnya ditanami padi atau jagung? Apakah boleh hasilnya digunakan untuk kebutuhan pribadi?


Wakaf dalam Islam punya kedudukan yang sangat mulia. Ia termasuk amal jariyah yang pahalanya terus mengalir, bahkan setelah pewakaf wafat. Tapi ada satu hal yang penting diingat: begitu harta diwakafkan, statusnya berubah. Ia bukan milik pribadi lagi. Tanah wakaf itu menjadi milik umat, dan tidak boleh diwariskan, dijual, apalagi dimanfaatkan sembarangan.


Wakaf pertama kali dalam sejarah Islam adalah wakaf yang dilakukan Sahabat Umar atas sebidang tanah Khaibar yang dimilikinya. Hal itu beliau lakukan atas perintah Nabi. Sahabat Umar memberi beberapa syarat atas pewakafan tanah tersebut, di antaranya tidak boleh dijual, diwariskan dan dihibahkan. Sahabat Umar juga memberi syarat agar pengelolanya diperkenankan memakan atau memberi makan kerabatnya dari hasil bumi tanah tersebut dengan sewajarnya, tidak berlebihan dan bebas layaknya orang yang memiliki hak kepemilikan secara pribadi. Riwayat lain menyebutkan wakaf pertama kali dalam Islam adalah wakafnya Nabi atas harta yang beliau terima dari Mukhairiq, seorang alim dari Bani Nadlir. Nabi menerima pemberian harta wasiat dari Mukhairiq di tahun ketiga Hijriyyah, kemudian selang beberapa waktu Nabi mewakafkannya (lihat: Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 6, hal. 236).


Maka dari itu, kalau ada warga desa yang menggarap tanah wakaf dan mengambil hasilnya sendiri, tanpa izin, itu bisa jadi termasuk dosa. Rasulullah SAW mengingatkan bahwa siapa pun yang mengambil harta orang lain tanpa hak, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Dan meskipun tanah itu dulunya milik keluarganya sendiri, kalau sudah diwakafkan, maka ia sudah bukan warisan turun-temurun lagi.

Namun bukan berarti tanah wakaf harus dibiarkan kosong. Justru dalam Islam, semua wakaf harus dikelola. Di sinilah peran penting nadzir, yaitu pengelola wakaf. Nadzir inilah yang bertugas memastikan tanah wakaf digunakan sesuai tujuan wakaf. Kalau ada warga yang ingin menggarap tanah wakaf agar tidak terlantar, bisa saja—asal atas izin nadzir dan dengan niat untuk kebaikan umat.


Misalnya, hasil panen digunakan untuk biaya operasional masjid, menyantuni anak yatim, atau membantu pembangunan TPQ. Bisa juga hasilnya dibagi: sebagian untuk penggarap, sebagian besar untuk kepentingan sosial. Yang penting, tidak digunakan sepenuhnya untuk pribadi, apalagi sampai berpikir tanah itu boleh diwariskan. Ini berdasarkan keterangan dalam kitab I'anatut Thalibin:

وَالْجَوَابُ: أَنَّ الظَّاهِرَ مِنْ غَرْسِهِ فِي الْمَسْجِدِ أَنَّهُ مَوْقُوفٌ، لِمَا صَرَّحُوا بِهِ فِي الصُّلْحِ، مِنْ أَنَّ مَحَلَّ جَوَازِ غَرْسِ الشَّجَرِ فِي الْمَسْجِدِ: إِذَا غَرَسَهُ لِعُمُومِ الْمُسْلِمِينَ، وَأَنَّهُ لَوْ غَرَسَهُ لِنَفْسِهِ لَمْ يَجُزْ، وَإِنْ لَمْ يَضُرَّ بِالْمَسْجِدِ.

وَحَيْثُ عُمِلَ عَلَى أَنَّهُ لِعُمُومِ الْمُسْلِمِينَ، فَيَحْتَمِلُ جَوَازَ بَيْعِهِ وَصَرْفَ ثَمَنِهِ عَلَى مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ، وَإِنْ لَمْ يُمْكِنِ الاِنْتِفَاعُ بِهِ جَافًّا،

وَيَحْتَمِلُ وُجُوبَ صَرْفِ ثَمَنِهِ لِمَصَالِحِ الْمَسْجِدِ خَاصَّةً.

Rujukan di atas pada intinya menjelaskan bahwa menanami pohon di tanah yang diwakafkan untuk masjid pada dasarnya boleh apabila untuk kepentingan kaum muslimin, sedangkan apabila hanya untuk dinikmati oleh pribadi, maka hukumnya tidak boleh, meskipun tidak merugikan masjid. Demikian pula boleh menjual hasil tanamannya jika untuk kepentingan kaum muslimin atau hanya kepentingan masjid. Saudara penanya yang dimuliakan Allah. Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa substansi pemanfaatan tanah wakaf sekali lagi adalah untuk kepentingan masyarakat luas (‘amat al-muslimin). Bukan untuk kepentingan pribadi maupun satu golongan tertentu.


Jadi, menggarap tanah wakaf sebenarnya boleh—asal sesuai dengan amanah pewakaf, atas izin pengelola, dan hasilnya dipakai untuk kebaikan umat. Jangan sampai wakaf yang harusnya menjadi ladang pahala, justru berubah jadi ladang dosa karena disalahgunakan.

Wakaf itu sakral. Ia adalah warisan kebaikan yang tak boleh dikotori oleh nafsu dan kepentingan pribadi. Mari kita jaga dan kelola wakaf dengan amanah, agar manfaatnya terus mengalir, sebagaimana pahala orang yang mewakafkannya tak pernah putus.


Penulis: M Rufait Balya