Bolehkah Childfree dalam Pandangan Islam?

 


Akhir-akhir ini kembali viral pembahasan tentang childfree, bahkan wakil presiden Indonesia sampai-sampai mengeluarkan pendapat tentang tidak bolehnya childfree. "Dalam program penanggulangan stunting, tidak ada program apa namanya itu, freechild, itu tidak ada. Dan pernikahan itu dimaksudkan untuk mengembangbiakan manusia melalui perkawinan supaya manusia berkembang dan terus bisa mengelola bumi ini sampai batas waktu terakhirnya, sampai kiamat." Kata KH. Ma'ruf Amin (dilansir dari detiknews.com/11-02-2023)

Dan sejalan dengan pendapat beliau (KH. Ma'ruf Amin) yakni salah satu tujuan syariat ini diturunkan oleh Allah yakni menjaga keturunan (hifdzu an-Nasl). Sebenarnya menjaga keturunan ini hanya salah satu dari tujuan adanya syariat adapun yang lainnya itu adalah, 1.) Menjaga agama (hifdzu ad-Din) 2. Menjaga jiwa (hifdzu an-Nafs) 3. Menjaga keturunan (hifdzu an-Nasl) 4. Menjaga akal (hifdzu al-aql) 5. Menjaga harta (hifdzu al-Maal). (Sumber Kitab al-Maqhosid al-Syariah karya DR. Yusuf al-Qorodhowi)


Adapun childfree sendiri adalah keputusan dari pasangan suami istri untuk tidak memiliki anak setelah melakukan pernikahan. Dan istilah ini bukanlah sesuatu yang baru akan tetapi istilah lama yang sudah berkembang di kalangan negara barat seiring dengan perkembangan liberalisme. 


Sebenarnya banyak faktor yang mempengaruhi hal ini yakni mulai dari kekhawatiran genetik, masalah finansial, mental yang tidak siap untuk menjadi orang tua, dan juga bisa dikarenakan faktor lingkungan. Lantas Apakah prinsip-prinsip ini dapat dibenarkan menurut pandangan Islam atau sebaliknya? Mari kita kupas satu persatu!


Sebagaimana diketahui, syariat Islam menganjurkan untuk para pengikutnya untuk melangsungkan pernikahan. Tujuan dari pernikahan yang paling utama adalah pengaplikasian dari tujuan-tujuan syariat yakni menjaga keturunan karena dengan pernikahanlah kita dapat memenuhi kebutuhan biologis yang secara kodrat itu merupakan kebutuhan yang paling penting dari makhluk hidup. Seperti yang diterangkan oleh Imam as-Sarkhasi dalam kitabnya al-Mabsuth ;

ثم يتعلق بهذا العقد أنواع من المصالح الدينية والدنيوية، من ذلك حفظ النساء، والقيام عليهن. ومن ذلك صيانة النفس من الزنا. ومن ذلك تكثير عباد الله تعالى وأمة رسول الله صلى الله عليه وسلم وتحقيق مباهات الرسول صلى الله عليه وسلم بهم

Artinya "Akad nikah ini berkaitan dengan berbagai kemaslahatan, baik kemaslahatan agama maupun kemaslahatan dunia. Diantaranya adalah mengurusi dan menjaga perempuan, menjaga diri dari perbuatan zina, memperbanyak populasi hamba Allah dan umat Rasulullah, dan memastikan kebanggaan Rasulullah dengan banyaknya umat beliau." (Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl as-Sarakhsi, al-Mabsuth [Beirut, Darul Fikr, 1421H/2000M], juz 4, hlm 349-350)


Dari dalil ini, Sudahlah sangat jelas tujuan dari sebuah pernikahan Jadi jika ada orang yang berpendapat untuk tidak memiliki anak setelah menikah ini sebuah kesalahan yang sangat fatal. Berbeda halnya jika ada pasangan yang memang tidak bisa memiliki anak pasca perkawinan ataupun pasangan yang memilih untuk menunda dalam memiliki anak ini jenis beda dengan konsep childfree, mari kita membahasnya!


Dalam kasus di atas ini orang yang memang tidak bisa hamil dalam artian terkendala sistem reproduksinya ini tidak bisa disamakan dengan konsep childfree, karena childfree sendiri ini memutuskan secara sepihak untuk tidak punya anak padahal mereka mampu (tidak terkendalam pada sistem reproduksi). Jika tujuannya childfree ini untuk menghindari wujudnya anak sebelum potensial wujud, yaitu sebelum sperma masuk ke dalam rahim perempuan, maka childfree yang semacam ini boleh karena hanya untuk menunda pembuahan atau kehamilan, dan ini hukumnya sebatas makruh karena meninggalkan suatu keutamaan. Akan tetapi jika childfree-nya tadi berupaya dengan mengilangkan/memutus sitem reproduksi secara mutlak maka hukumnya haram

Seperti yang diterangkan Syekh az-Zabidi dalam kitab ithafnya;

إذْ لا يَجِبُ عليه النِّكاحُ إلاّ عند وُجودِ شُرُوطه. فإذا تَزَوَّجَ لا يجبُ علبه إلا المَبيتُ والنَّفقةُ. فإذا جامع لا يجب عليه أن يُنزِلَ. فتَرْكُ كلّ ذلك إنّما هو تركٌ للفضيلة

Artinya, " sebenarnya seorang laki-laki tidak wajib menikah kecuali setelah terpenuhi syarat-syaratnya. Sebab itu bila Ia menikah, maka ia tidak wajib melakukan apapun kecuali menginap bersama istrinya di suatu tempat dan menafkahinya. Bila ia menyetubuhinya maka ia tidak wajib izal atau memasukkan sperma ke dalam rahim istrinya. Karena itu, meninggalkan semua hal tersebut hanyalah meninggalkan keutamaan tidak sampai dihukumi makruh apalagi haram. (Muhammad bin Muhammad al-Husaini az-Zabidi, ithafus saddatil muttaqin bi syarhi ihya ulumiddin [Beirut, Muassasatut Tarhil Arabi 1414H/1924M], juz V, hlm 380)


Dan seperti yang diterangkan oleh Syekh Ibrahim al-Bajuri dalam kitab bajurinya;

وكذلك اسْتِعْمال المَرأةِ الشَّيء الذي يُبْطِعىءُ الحَبْلَ أو يَقْطَعُهُ من أصلِهِ فيُكرَهُ  في الأولى ويُحرَمُ في الثاني

Artinya, "Demikian pula seperti hukum laki-laki yang menghilangkan syahwat seksual dengan cara mengkonsumsi kaffur thayyar, dihukumi makruh jika hanya mengurangi syahwat dan dihukumi haram jika sampai menghilangkan syahwat secara total. Hukum wanita yang menggunakan atau mengkonsumsi sesuatu yang dapat menunda kehamilan atau tidak bisa membuatnya hamil secara permanen maka hukumnya makruh untuk yang pertama dan hukumnya haram untuk yang kedua kalinya. (Syekh Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyatul Bajuri ala Ibnu Qosim al-Ghazi, [Semarang, Toha Putera], juz 2, hlm 92)


Walhasil, kesimpulannya adalah hukum dari childfree ditafsil (diperinci) tergantung realisasi dari pasangan suami istri tersebut. Boleh atau bisa makruh jika tujuannya hanya untuk menunda kehamilan dan dihukumi haram jika sampai memutus/mematikan fungai reproduksinya. (Dirujuk dari Keputusan Muktamar NU ke-28 di PP. Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, pada 26-29 Rabiul Akhir 1410H/25-28 November 1989M).


(al-Faqir Balya Robert/Mahasantri Ma'had Aly Denanyar)