Fikih Siyasah: Ketika Islam Bicara Soal Politik dan Negara
Perspektif Islam - Banyak dari kita mungkin berpikir bahwa agama hanya mengatur soal ibadah personal—sholat, puasa, zakat, dan semacamnya. Padahal, Islam adalah agama yang syamil (komprehensif), mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk urusan negara dan kepemimpinan. Inilah yang disebut sebagai fikih siyasah—cabang ilmu fikih yang membahas tata kelola pemerintahan menurut syariat Islam.
Di tengah dunia yang makin kompleks, memahami bagaimana Islam mengatur politik bukan hanya penting, tapi mendesak. Terutama bagi generasi muda Muslim yang akan mewarisi kepemimpinan di masa depan. Lalu, bagaimana sebenarnya sejarah dan perkembangan fikih siyasah dalam Islam?
Fikih Siyasah di Masa Kenabian dan Khulafaur Rasyidin
Akar fikih siyasah sejatinya sudah tumbuh sejak masa Rasulullah ﷺ. Ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau tidak hanya menjadi nabi dan rasul, tetapi juga kepala negara. Beliau memimpin masyarakat multikultural, menyusun konstitusi pertama yang dikenal sebagai Mitsaq al-Madinah, dan menjalankan fungsi legislatif, eksekutif, sekaligus yudikatif.
Dalam Al-Qur’an, kepemimpinan dan keadilan disebut sebagai fondasi penting masyarakat:
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّواْ ٱلْأَمَـٰنَـٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِٱلْعَدْلِ
Artinya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil." (QS. An-Nisa: 58).
Setelah wafatnya Rasulullah ﷺ, tongkat estafet kekuasaan dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin. Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali masing-masing menjalankan pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip syura (musyawarah), keadilan, dan akhlak islami. Di masa inilah praktik politik Islam berkembang dalam bentuk konkret, walaupun istilah “fikih siyasah” belum dikenal secara formal.
Kodifikasi dan Perkembangan Pemikiran Politik Islam
Baru pada masa-masa berikutnya, ketika umat Islam berkembang menjadi kekhalifahan yang luas (Umayyah, Abbasiyah, dan seterusnya), para ulama mulai menulis dan menyusun teori-teori politik Islam secara lebih sistematis. Salah satu tokoh awal yang dikenal di bidang ini adalah al-Mawardi (w. 1058 M), yang menulis kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, sebuah karya monumental yang membahas tugas dan syarat pemimpin, tata kelola pemerintahan, serta prinsip keadilan dan kekuasaan menurut syariat.
Al-Mawardi menegaskan bahwa pemerintahan adalah kewajiban syar’i untuk menegakkan agama dan mengatur dunia dengan keadilan:
الْإِمَامَةُ: مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا، وَعَقْدُهَا لِمَنْ يَقُومُ بِهَا فِي الْأُمَّةِ وَاجِبٌ بِالْإِجْمَاعِ وَإِنْ شَذَّ عَنْهُمْ الْأَصَمُّ.
Artinya: "Imamah (kepemimpinan umat) ditetapkan sebagai pengganti kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia. Pengangkatan (baiat) terhadap orang yang melaksanakan fungsi ini dalam umat hukumnya wajib menurut ijmak (kesepakatan ulama), meskipun al-Aṣamm menyelisihi mereka."
Setelah al-Mawardi, muncul pula ulama seperti Abu Ya’la al-Farra yang juga menulis dengan judul yang sama, serta Ibnu Taimiyah dengan karyanya As-Siyasah asy-Syar’iyyah, yang lebih tegas dalam membahas hubungan antara kekuasaan dan pelaksanaan hukum Islam.
Fikih Siyasah di Era Modern: Antara Tantangan dan Relevansi
Seiring berjalannya waktu dan masuknya umat Islam ke dalam dunia modern dengan sistem politik barat, banyak aspek fikih siyasah mengalami tantangan. Negara bangsa (nation-state), demokrasi, HAM, dan pemisahan agama-negara memunculkan pertanyaan baru: apakah fikih siyasah masih relevan?
Jawabannya adalah iya—selama kita memahami bahwa fikih siyasah adalah kerangka nilai, bukan bentuk tunggal sistem politik. Ia tidak membekukan umat dalam satu model, tapi memberi prinsip-prinsip dasar seperti keadilan, amanah, syura, tanggung jawab, dan perlindungan terhadap hak rakyat. Konsep-konsep ini bisa diintegrasikan dalam sistem modern selama tidak bertentangan dengan syariat.
Para ulama kontemporer seperti Wahbah az-Zuhaili, Yusuf al-Qaradawi, dan Abdullah bin Bayyah pun banyak menulis ulang fikih siyasah dengan pendekatan kontekstual, tanpa mengabaikan prinsip utama Islam. Kajian akademik pun berkembang, menjadikan fikih siyasah tidak hanya materi di kitab kuning, tapi juga bahan diskusi di ruang kuliah dan forum internasional.
Saatnya Kita Melek Politik Islam
Sebagai remaja dan mahasiswa Muslim, penting bagi kita untuk tidak buta terhadap urusan politik. Bukan berarti kita harus terjun ke dunia partai, tapi paling tidak kita memahami bagaimana Islam mengajarkan nilai-nilai kepemimpinan, keadilan sosial, dan tanggung jawab publik. Dunia politik boleh berubah, tapi prinsip-prinsip fikih siyasah tetap relevan—karena ia berbicara tentang bagaimana menegakkan nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kalau kita ingin melihat perubahan nyata dalam masyarakat, kita harus mulai dari pemahaman yang benar. Jangan biarkan narasi bahwa Islam “hanya mengatur ibadah” terus berkembang. Islam itu lengkap—termasuk soal urusan pemerintahan dan sosial. Sebagaimana sabda Nabi Saw:
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya:"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Penutup: Dari Kajian ke Aksi
Memahami fikih siyasah bukan tentang menghafal teori, tapi tentang bagaimana kita membangun kesadaran—bahwa sebagai bagian dari umat Islam, kita punya tanggung jawab bukan hanya kepada diri sendiri, tapi juga kepada masyarakat. Dari mulai adil dalam bersikap, aktif menyuarakan kebenaran, hingga mendukung sistem yang menjunjung nilai-nilai Islam.
Mari belajar politik Islam bukan untuk jadi ambisius, tapi agar bisa jadi generasi yang sadar, cerdas, dan siap menjadi bagian dari perubahan yang lebih baik. Karena urusan umat ini tidak bisa diserahkan kepada yang salah paham tentang Islam.
Penulis: M Rufait Balya

Gabung dalam percakapan