Benarkah Islam Menganjurkan Untuk Kaya? Ini Jawaban Tafsirnya | Perspektif Islam
Kaya itu bukan masalah. Justru, kalau kamu tahu caranya, bisa jadi jalan tercepat ke surga. Islam nggak anti tajir, asal halal dan bermanfaat.
Ilustrasi muslim kaya raya. (Foto: Freepik).
Perspektif Islam - Di antara obrolan warung kopi, kajian akhir pekan, dan keresahan anak muda yang baru lulus kuliah, ada satu pertanyaan yang sering muncul: boleh nggak sih jadi kaya dalam Islam? Jangan-jangan makin tajir, makin jauh dari Allah?
Pertanyaan ini wajar muncul, apalagi kalau kita terbiasa mengaitkan kesalehan dengan hidup sederhana, pakaian lusuh, atau rumah minimalis. Tapi mari kita tengok ulang, bukan dari selera pribadi, melainkan langsung dari Al-Qur’an dan ajaran Nabi.
Ternyata, Islam tidak pernah mengharamkan kekayaan. Yang dilarang adalah harta yang bikin lupa diri, lupa Allah, dan lupa manusia. Tapi kalau jalannya halal dan tujuannya maslahat, kekayaan justru bisa jadi jalan ke surga. Allah berfirman:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
Artinya:“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari dunia.” (QS. Al-Qashash: 77).
Ayat ini turun kepada Qarun, si konglomerat Bani Israil yang terperangkap oleh kesombongan. Tapi pesan moralnya jelas: Allah nggak menyuruh kita meninggalkan dunia, tapi meletakkannya di tempat yang pas. Dunia di tangan, akhirat di hati.
Begitu juga, Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Wajiz menjelaskan, bahwasanya umat Islam diperintahkan untuk mencari sesuatu yang telah diberikan Allah, yakni rezeki yang halal. Dan janganlah umat Islam harta bendanya untuk bermaksiat kepada Allah, dengan berlaku angkuh dan sewenang-wenang.
Maka dari itu, kekayaan dalam Islam dipandang sebagai alat, bukan tujuan. Ia jadi baik kalau digunakan untuk menebar manfaat. Dalam hadits riwayat Ahmad, Rasulullah SAW bersabda:
نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلرَّجُلِ الصَّالِحِ
Artinya:“Harta yang baik adalah (di tangan) orang yang saleh.” (HR. Ahmad).
Jadi, kalau kamu sedang kuliah dan bercita-cita jadi entrepreneur sukses, itu bukan hal yang salah. Yang penting bukan sekadar berapa banyak yang kamu punya, tapi ke mana kamu arahkan dan dari mana kamu dapatkan.
Kita bisa belajar dari para sahabat Nabi. Abdurrahman bin Auf, misalnya. Hartanya luar biasa, tapi hatinya tetap lembut. Beliau pernah menyumbangkan kafilah dagangnya seluruhnya untuk jihad di jalan Allah. Utsman bin Affan? Donatur tetap dakwah. Zubair bin Awwam? Dermawan sejati. Mereka kaya raya—tapi tetap surga jadi prioritas utama.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin pernah menjelaskan bahwa harta itu seperti ular: kalau kamu nggak tahu cara memegangnya, bisa mematikan. Tapi kalau tahu caranya, bisa jadi obat. Jadi soal kaya atau nggaknya bukan urusan hitam putih, tapi urusan ilmu, niat, dan akhlak.
Al-Qur’an juga menegaskan bahwa harta bukan cuma nikmat, tapi juga ujian:
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَاللّٰهُ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Artinya:“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah ujian, dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Taghabun: 15).
Ujian bukan berarti buruk. Ia justru membuka peluang pahala besar kalau dijalani dengan bijak. Ketika harta bikin kita makin ringan memberi, makin gigih berdakwah, dan makin kuat menolong sesama, maka kekayaan berubah jadi ibadah.
Tentu, kita tetap harus waspada. Karena bukan harta yang berbahaya, tapi rasa tamak yang membungkusnya. Bukan dompet tebal yang bermasalah, tapi hati yang keras karena cinta dunia. Dalam tafsir Ibnu Katsir, dijelaskan bahwa cinta harta yang berlebihan itulah yang bisa mengalihkan manusia dari mengingat Allah.
Kaya itu oke, asal kamu tahu ke mana kaki melangkah dan untuk siapa tanganmu memberi. Menjadi Muslim yang saleh bukan berarti menjauhi dunia, tapi menjadikan dunia sebagai ladang akhirat. Justru dunia yang halal, yang diusahakan dengan keringat dan kejujuran, bisa jadi tangga untuk sampai pada ridha-Nya.
Jadi kalau kamu punya mimpi besar, bisnis impian, atau target finansial, lanjutkan. Tapi jangan lepas dari nilai yang dibawa oleh para Nabi dan sahabat: keikhlasan, kejujuran, dan kebermanfaatan.
Penulis: M Rufait Balya

Gabung dalam percakapan