Dianggap Feodal! Ini Cara Pesantren Mendidik dengan Nilai, Bukan Kuasa | Perspektif Islam

Kritik itu penting, tapi jangan sampai salah kaprah. Yuk pahami pesantren lebih dalam.

 

Santri mengaji kitab kuning. (Foto: epos.id)


Perspektif Islam --- Belakangan, ada anggapan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang feodal—penuh hierarki, minim kebebasan, bahkan kadang dianggap menindas. Tapi benarkah itu? Mari kita luruskan.


Pesantren bukan lembaga kekuasaan. Ia adalah ruang pendidikan spiritual yang dibangun atas dasar ta’zhim (penghormatan), bukan penaklukan. Kritik itu penting, tapi jangan sampai keliru membaca—karena tidak semua struktur itu represif, dan tidak semua kedisiplinan adalah bentuk kekerasan.


1. Kiai: Bukan Raja, Tapi Murabbi

Dalam tradisi pesantren, kiai adalah murabbi (pembimbing ruhani), bukan “tuan tanah”. Ia tak dibayar dengan gaji besar, bahkan sering hidup sangat sederhana. Kedudukannya tinggi bukan karena kuasa, tapi karena ilmunya.

Hubungan kiai-santri dibangun bukan atas dasar dominasi, tapi spiritualitas. Dalam adab Islam, murid memang menghormati gurunya sebagai jalan mendapatkan ilmu yang berkah. Ini bukan ketundukan buta, tapi adab yang diajarkan Nabi, sebagaiman hadits:

ليس منَّا مَنْ لم يرحمْ صغيرَنا، وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا، ويَعْرِفْ لعالِمِنا حقَّهُ

Artinya: “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang muda, tidak menghormati yang tua, dan tidak mengetahui hak orang-orang alim diantara mereka.” (HR. Ahmad).


2. Khidmah: Latihan Jiwa, Bukan Perbudakan

“Santri disuruh bersih-bersih, masak, nyuci!” Ya, dan itu bukan bentuk eksploitasi—tapi pendidikan karakter. Di tengah dunia yang mengagungkan “privilege”, pesantren mengajarkan tawadhu' lewat praktik nyata.

Imam Syafi’i dahulu juga menyapu rumah gurunya. Ini bukan budaya feodal, melainkan jejak etika keilmuan yang tertanam kuat dalam peradaban Islam. Di pesantren, khidmah bukan bentuk pemerasan, karena tidak ada unsur paksaan. Ini pembelajaran sosial bahwa ilmu butuh kerendahan hati.


3. Adab: Penjaga Ilmu, Bukan Pembungkam Nalar

Sering disalahpahami, aturan adab di pesantren bukan alat untuk membungkam kebebasan berpikir. Justru, ia menjaga agar kebebasan itu tidak liar tanpa arah. Adab membingkai nalar dalam akhlak. Di banyak pesantren modern, diskusi kitab kuning berjalan terbuka, santri boleh tahqiq (mengkritisi) pendapat ulama terdahulu dengan sopan. 

KH Hasyim Asy’ari bahkan menulis kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim yang menekankan pentingnya dialog antara guru dan murid. Tidak sampai disitu, Mbah Hasyim juga menjelaskan adabnya pengajar (guru) kepada muridnya.

Dan jika kita menelisik lebih dalam tentang pesantren, kita akan menemukan ruang musyawarah dan diskusi terbuka. Kitab-kitab klasik dibedah, dipertanyakan, dan dipahami bersama. Bahkan ada forum bahtsul masail yang melatih santri berpikir kritis terhadap isu-isu kontemporer.


4. Hierarki dalam Islam: Natural dan Perlu

Hierarki bukan musuh demokrasi. Dalam Islam, ulil amri dan ahlul ‘ilm memiliki tempat khusus karena tanggung jawab mereka. Bahkan dalam Al-Qur’an telah dijelaskan:

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۖ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Artinya: “Kami tiada mengutus rasul rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. Al-Anbiya' ayat 7).

Dalam ayat di atas, disebutkan secara sharih (terang, jelas) mengenai siapakah ahli dzikir itu, ialah orang-orang yang berilmu, dan jelas bahwa orang yang berilmu memiliki tempat tersendiri daripada lainnya (orang tidak berilmu). Maka, dalam pendidikan pesantren, struktur bukan untuk menindas, tapi untuk mengatur. Kiai bukan penguasa absolut—mereka disegani karena dedikasi, bukan dominasi.


5. Kenapa Pesantren Tak Bisa Dibaca dengan Kacamata Barat?

Kritik feodalisme sering datang dari perspektif sekuler dan Barat yang memandang relasi guru-murid harus setara total. Tapi dalam tradisi Islam, kesetaraan bukan berarti kehilangan penghormatan. Dr. Azyumardi Azra menegaskan bahwa sistem pesantren adalah bentuk khas pendidikan Islam Nusantara yang tak bisa disamakan begitu saja dengan model Barat.


Pesantren Bukan Lembaga Statis

Pesantren terus berkembang. Saat ini, banyak pesantren yang membuka program vokasi, kuliah lanjutan, bahkan startup digital. Pesantren modern memadukan tradisi dan inovasi—menjadikannya institusi pendidikan yang relevan dan kontekstual. Dalam pandangan Islam, pendidikan bukan untuk mencetak robot, tapi manusia seutuhnya.


Kesimpulan: Pesantren, Tempat Tumbuh Jiwa Merdeka

Pesantren bukan sistem feodal, melainkan tarbiyah ruhaniyah—pendidikan jiwa. Ia mengajarkan kemandirian, kerendahan hati, kedisiplinan, dan nilai-nilai luhur Islam. Kritik tentu boleh, tapi mari adil: jangan pukul rata sistem yang sudah terbukti melahirkan ulama, pemimpin, dan intelektual hebat bangsa. Daripada sekadar mendekonstruksi, mari kita rekonstruksi: perbaiki yang lemah, kuatkan yang baik. Pesantren bukan sempurna, tapi bukan pula warisan feodal yang harus ditumbangkan.


Penulis: M Rufait Balya