Hukum Mencemari Lingkungan (Kacamata Fikih)
Deskripsi Masalah :
Industrialisasi yang sekarang sedang digalakkan oleh pemerintah, ternyata membaka ekses (dampak) yang cukup serius. Dan dampaknya juga merugikan kepentingan rakyat banyak, yakni biasanya hanya mengejar keuntungan sendiri, serta melupakan kewajiban untuk menangani dampak limbah yang ditimbulkan oleh pabrik.
Pertanyaan :
a. Bagaimana hukum mencemari lingkungan?
b. Bagaimana konsep islam dalam menangani dampak pencemaran lingkungan
Jawaban :
a. Hukum mencemari lingkungan, baik udara, air, maupun tanah, apabila menimbulkan dharar (kerusakan), maka hukumnya haram dan termasuk perbuatan kriminal (jinayat)
b. Konsepsi Islam dalam menangani dampak pencemaran lingkungan adalah;
1. Apabila ada kerusakan, maka wajib diganti oleh pencemar
2. Memberikan hukuman yang menjerakan (terhadap pencemar) yang pelaksanaannya dengan amar ma'ruf nahi munkar sesuai dengan tingkatannya.
Refrensi :
1. Al-Tafsir al-Kabir/Mafatih al-Ghaib
قال الله تعالى :
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ بَعْدَ إصْلاحِها (الأعراف : ٥٦)
فَقَوْلُهُ "ولا تُفْسِدُوا" منع عن إذْخالِ ماهية الإفساد في الوجودِ والمَنْعُ مِنْ إذخالِ الماهيةِ في الوجوْدِ يَقْتضي المَنْعَ مِنْ جَمِيْعِ أنواعِهِ وأصْنافِهِ فَيَتناولُ المَنعَ مِنَ الإفْسادِ في هذه الخمسةِ. وأما قوله "بعدَ إصلاحها" فَيَختَمِلُ أن يكونَ المرادُ بعدَ أنْ أصلَحَ خلْقَتَها على الوَجْهِ المُطابِقِ لِمَنافِعِ الخَلْقِ والمُوافِقِ لِمَصَالِحِ المُكَلِّفِينَ
Allah SWT berfirman: "Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah SWT.) memperbaikinya..." (QS. Al-A'raf : 56).
Firman Allah SWT "Dan janganlah kalian membuat kerusakan." adalah larangan membuat kerusakan apapun dalam barang yang wujud, dan larangan dalam barang yang wujud berarti larangan pula dalam segala macam dan jenisnya. Sehingga larangan tersebut mencakup larangan membuat kerusakan pada lima perkara ini (jiwa, harta, nasab/keturunan, agama, dan akal). Sedangkan firman Allah SWT "Sesudah (Allah SWT) memperbaikinya." bisa berarti yang dimaksud adalah setelah Allah SWT membuat baik bentuk semulanya pada bentuk yang cocok bagi kepentingan makhlum dan sesuai dengan kemaslahatan para mukallaf.
2. Al-Mawahib al-Saniyah Syarh al-Fawa'id al-Bahiyah
عِبارَةُ لا ضَرَرَ ولا ضِرارَ والمَعْنى لا جٌناحَ إذْخالُ الضَّرَرِ على إنسانٍ فيما تَحْتَ يَدِهِ مِنْ مِلْكٍ أو مَنفَعَةٍ غالِبًا ولا يَجوزُ لأحدٍ أن يَضُرَّ أخاهُ المسلمِ
"Ungkapan 'La dharara wa la dhirara', maksudnya adalah secara umum tidak berdosa melakukan tindakan yang merugikan bagi seseorang atas sesuatu yang berada dalam kekuasaannya, baik berupa hak milik atau manfaat, dan siapapun tidak boleh melakukan tindakan yang merugikan saudaranya sesama muslim.
3. Tabyin al-Haqa'iq Syarh Kanz al-Daqaiq
ولَو أرادَ بِناءَ تَنُورٍ في داره للخُبْزِ الدَّائِمِ كما يكونُ في الدَّكَّاكينِ أو رحًا للطَّخْنِ أو مِدَقَّاتٍ للْقَصَّارينَ لمْ يَجُزْ لأنَّ ذلكَ يَضُرُّ بِالجيرانِ ضَرَرًا ظاهِرًا لا يمكِنُ التَّحَرُّزُ عنهُ والقياسُ أنْ يجوزَ لأنّهُ تَصَرُّفٌ في مِلكِهِ وتُرِكُ ذلك استِخْسانًا لأجل المصلَحةِ
"Dan bila seseorang ingin membangun dapur di rumahnya untuk membuat roti seperti yang ada di toko-toko, atau penggilingan untuk menggiling tepung, atau penumbuk untuk tukang setrika, maka hal itu tidak boleh karena dapat mengganggu para tetangga dengan gangguan jelas yang tidak dapat dihindari. Sedangkan menurut qiyas, hal tersebut semestinya boleh, sebab merupakan pemberdayaan pada harta miliknya sendiri. Namun hal tersebut harus ditinggalkan berdasarkan pada istihsan demi kepentingan (umum).
4. Majma' al-Dhamanat
رَجُلٌ أرادَ أن يُخْرِقَ حَصَائِدَ أرْضِهِ فأوقدَ النّارَ في حصائِدِهِ فذَهَبتْ النّارُ إلى أرضِ جارِهِ فأخْرَقَ زَرْعَهُ لا يَضْمَنُ إلا أن يعلمَ أنّهُ لو أخرقَ حصائِدَهُ تتعدَّى النَّارُ إلى ززعِ جارِ لأنه إذا عَلِمَ كان قاصِدًا إخراقَ ززع الغيرِ
وكَذَلِكَ رجلٌ لهُ قَطْنٌ في أرْضِهِ وأرْضُ جارِهِ لاصقَةٌ بأرضِهِ فَأوقَدَ النَّارَ مِنْ طَرْفِ أرضِهِ إلى جانِبِ القُطْنِ كان ضمانُ القُطْنِ على الذي أوقَدَ النَّارَ لأنَّهُ إذا علمَ أنَّ نارَهُ تتعَدَّى إلى القُطْنِ كان قاصدا إخْراقَ القُطْنِ
"Jika seseorang ingin membakar panenan (jerami) di tanahnya, lalu ia menyalakan api dan kemudian menjalar ke tanah tetangganya sehingga membakar tanamannya, maka ia tidak harus bertanggung jawab. Kecuali ia mengetahui, bila ia membakar sawahnya maka api akan menjalar ke tanaman tetangganya. Sebab, jika ia sudah mengetahui maka berarti ia sengaja membakar tanaman orang lain. Begitu pula seseorang yang memiliki tanaman kapas di tanahnya dan tanah orang lain bergandengan dengan tanahnya. Lalu orang lain itu menyalakan api dari sisi tanahnya sendiri dan menjalar ke bagian kapas, maka ganti rugi kapas adalah kewajiban bagi orang yang menyalakan api. Sebab ketika ia sudah mengetahui bahwa apinya akan menjalar ke kapas itu, berarti ia sengaja membakarnya.
5. Mirqah Su'ud al-Tashdiq Syarh Sulam al-Taufiq
ومِنْ مَعاصي البَدَنِ عُقوقُ الوالِدَينِ والفِرارُ مِنَ الزّخفِ وقَطِيعَةِ الرّحِمِ وإيذاء الجار ولو كافِرا له أمانٌ كالمُستأمَنِ والمُعاهدِ أذّى ظاهرًا لقوله مَنْ كان يُؤمِنُ بالله واليومِ الآخرِ فلا يُؤذي جارهُ ذكَرَهُ الرّمليّ
"Dan di antara maksiat badan adalah durhaka terhadap orang tua, melarikan diri dari medan pertempuran, memutus tali persaudaraan, dan mengganggu tetangga dengan gangguan yang nyata walaupun orang non muslim yang berhak memperoleh keamanan, seperti non muslim musta'man dan mu'ahad, berdasarkan sabda Nabi SAW; "Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT, dan hari akhir, maka janganlah mengganggu tetangganya." Begitu penuturan al-Ramli
(Hasil Keputusan Muktamar NU Ke-28 di Cipasung-Tasikmalaya/04 Desember 1994)

Gabung dalam percakapan