Pertemuan Imam Syafi'i Dan Imam Malik Di Madinah

 



Sebelum ke Madinah untuk menemui Imam Malik, Imam Syafi'i terlebih dahulu mempersiapkan diri dengan cara menghafalkan kitab al-Muwaththa'. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Imam Syafi'i hafal kitab tersebut pada usia sepuluh tahun. Sedangkan dalam Tawalit Tasis menyebutkan beliau hafal pada usia tiga belas tahun.


Kisah berawal dari kebiasaan Imam Syafi'i bergaul dengan suku Hudzail, mereka adalah suku Arab yang paling fasih, beliau tinggal bersama suku Hudzail bertahun-tahun. Imam Syafi'i berkata dalam sebuah riwayat "Aku keluar dari Makkah untuk hidup dan bergaul dengan suku Hudzail di pedusunan. Aku mengambil bahasa mereka dan mempelajari ucapannya, mereka adalah suku arab yang paling fasih. Setelah beberapa tahun tinggal bersama merekapun kembali ke Makkah. Kemudian, aku membaca syair-syair mereka, menyebut peristiwa, dan peperangan bangsa Arab. Ketika itu, lewatlah orang dari suku az-Zuhri, ia berkata kepadaku: Hai, Abu Abdillah, sayang sekali keindahan bahasa yang engkau kuasai tidak diimbangi dengan ilmu dan fikih. 'Siapakah orang yang patut aku temui?' Tanyaku. Ia menjawab 'Malik bin Anas, pemimpin umat Islam.' Imam Syafi'i berkata 'maka timbul lah minatku untuk mempelajari kitab al-Muwaththa'. Untuk itu, aku meminjamnya dari seseorang laki-laki Makkah. Setelah selesai menghafalkannya, aku pergi menjumpai gubernur Makkah dan mengambil surat untuk aku berikan kepada gubernur Madinah dan Imam Malik bin Anas."


Singkat cerita, Imam Syafi'i sampai di Madinah, dan memberikan surat pada gubernur Madinah. Setelah membaca surat keinginan Imam Syafi'i bertemu dengan Imam Malik, gubernur Madinah merasa pesimis untuk dapat bertemu dengan Imam Malik. Gubernur berkata "Wahai pemuda, aku lebih suma jalan kaki dari pedalaman Madinah ke pedalaman Makkah daripada harus menghadap Imam Malik." Imam Syafi'i berpikir jika melalui perantara gubernur maka dia akan gampang bertemu dengan Imam Malik, "Apabila ia (Imam Malik) melihat gubernur yang datang kepadanya, tentu ia akan siap hadir." Ujar Imam Syafi'i. Tapi ekspetasi seperti itu tidak benar, gubernur Madinah menjawabnya "Tidak mungkin!". Andaikan aku datang berkendara dengan pengawalku dan dengan keadaan berlumur debu lembah, barulah ia (Imam Malik) mau melayani hajat kita." Dari sini sekilas pembaca akan tahu bagaimana keadaan pada saat itu.


Lantas pada sore hari barulah dua orang tadi sampai di kediaman Imam Malik, saat di depan pintu keluarlah seorang budak wanita. Lantas gubernur tadi menyuruh agar si budak memberitahu kepada Imam Malik bahwa ada dua orang yang ingin menemuinya. Setelah lama menunggu, akhirnya si budak itu keluar, dia menyampaikan "Kalau kalian memiliki masalah, harap ditulis dan akan diberikan jawabannya secara tertulis. Bila ingin belajar hadits, diharap datang pada jadwal yang telah ditentukan. Karena itu kembalilah!". Mendengar jawaban si budak tadi, gubernur Madinah mengisyaratkan bahwa dia telah membawa surat dari gubernur Makkah dan ada yang ingin kami bicarakan dengan Imam Malik. Budak tadi masuk kembali, dan sesaat tiba-tiba keluar dengan membawa kursi. Tidak lama kemudian disusul oleh Syekh (orang tua/seorang guru) yang berbadan tinggi dan penuh wibawa berpakaian baju gamis hijau, dan beliau adalah Imam Malik.


Gubernur pun langsung menyerahkan surat kepada Imam Malik, seraya berucal "Pemuda ini (Syafi'i) seorang yang terhormat, baik akhlak dan kepandaiannya. Maka sampaikanlah/ajarkanlah hadits kepadanya." Mendengar ucapan tersebut Imam Malik mencampakkan surat tersebut, kemudian berkata "Subhanaallah, ilmu Rasulullah diambil dengan cara-cara seperti ini." Gubernur Madinah terlihat sangat takut untuk berbicara. Imam Syafi'i pun lantas berbicara "Semoga Allah selalu memperbaiki keadaanmu. Aku adalah kerurunan Mutholib, semoga Allah tetap menjadikan tuan sebagai orang yang shalih." 


Imam Malik seakan mempunyai firasat pada pemuda bernama Syafi'i ini. Beliau memandang pemuda tersebut sembari bertanya "Siapa namamu?", Imam Syafi'i menjawab "Namaku Muhammad." Imam Malim berkata "Hali Muhammad, bertakwalah kepada Allah, tinggalkanlah maksiat, maka engkau akan menjadi orang yang besar, datanglah besok dan akan ada orang yang akan membacakan kitab al-Muwaththa' kepadamu. Imam Syafi'i menjawab dengan singkat "Sesungguhnya saya sudah menghafalkannya."


Keesokan harinya Imam Syafi'i muda membaca kitab itu dihadapan Imam Malik, dia (Imam Malik) seringkai menghentikan bacaannya karena ia sangat segan dengan sosok Imam Syafi'i. Imam Malik tertarik dengan bacaan dan i'rab yang dibaca Imam Syafi'i. Hal itu membuat Imam Malik menyuruh untuk membacanya berulang-ulang. Lantas Imam Syafi'i hanya membaca kitab al-Muwaththa' dalam beberapa hari saja. Setelah itu, Imam Syafi'i muda diterima berguru kepada Imam Malik dan tinggal di Madinah hingga Imam Malik bin Anas wafat.


Akan tetapi keberadaan Imam Syafi'i di Madinah tidak terus-menerus. Ia terkadang kali pulang ke Makkah untuk menemui ibunya. Ada sejumlah riwayat pendapat bahwa Imam Syafi'i ke Madinah pada usia tiga belas tahun sekitar tahun 163 H. Ia menetap di Madinah sampai Imam Malik wafat pada tahun 179 H. Baru lah Imam Syafi'i pulang ke Makkah setelah memperoleh banyak ilmu dari Imam Malik, maka mulailah nama dan keilmuannya terkenal, padahal usianya baru menginjak 29 tahun. Imam Syafi'i telah mengambil hampir semua ilmu yang dimiliki oleh Imam Malik bin Anas dan menghimpun ilmu para Syekh yang ada di Madinah.

Refrensi : Manhaj al-Imam as-Syafi'i fi itsbaat al-'aqidat, Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab al-'Aqil, Pustaka Imam asy-Syafi'i, 1423H.


Kontributor : Faishol Hamimy (Mahasiswa UIN SATU Tulungagung)

Editor : Balya Robert